Pages

Instagram

Sunday 16 March 2014

Inilah Perbedaan Jokowi dan Prabowo

Prabowo Subianto dan Jokowi

Mengapa pada hari ini saya meng-angkat topik Perbedaan Jokowi dan Prabowo karena Prabowo Subianto dan Joko Widodo merupakan tokoh yang sedang hangat diperbincangkan terkait pencapresan mereka Dipemilu 2014 sekarang ini. Dua tokoh tersebut bersaing ketat dalam sejumlah survei yang ada di Indonesia.

Menurut beberapa media yang saya tonton , ada perbedaan antara Prabowo dan Jokowi, khususnya soal isu yang melekat pada keduanya. Prabowo dengan latar belakang militernya selalu berusaha menampilkan citra kegagahan dan ketegasan seperti yang baru-baru ini ditampilkannya saat kampanye Gerindra di Gelora Bung Karno. Turun dari helikopter lalu menunggangi kuda seharga 3 milyar memang terlihat gagah, mewah dan ideal mewakili citra militer itu sendiri.

Sementara itu, Jokowi dengan latar belakang Sipilnya selalu terlihat sederhana, dengan baju kemeja yang dikeluarkan dibagian bawah dan digulung dibagian lengannya, berjalan kaki, tak ada kesan kemewahan seorang pemimpin padanya.

Yang menarik hati saya adalah saat memperhatikan wajah-wajah disekitar prabowo yang menatapnya dengan berbagai ekspresi seperti dlm gambar. Ada yang seolah melongo, ada yang tegang, segan dan berbagai ekspresi lainnya yang secara keseluruhan memperlihatkan suasana kemiliteran. Militer dinegeri ini bagaimanapun memang telah memberikan berbagai sugesti terhadap alam bawah sadar rakyat. Sebagaimana jika anda berhadapan langsung dengan para petinggi Militer, ada rasa segan, hormat bahkan takut-takut, dan itu adalah hal yang wajar mengingat sejarah militer dinegeri ini memang telah memberikan "trauma" yang berkepanjangan, terlebih jika mengingat kasus-kasus yang terkait dengan masa lalu Prabowo. Maka wajar jika tidak ada kesan dari wajah-wajah tersebut yang hangat, tulus, penuh senyum dan tawa...Trauma masa lalu itulah penyebabnya.

Sedangkan wajah-wajah rakyat yang berjumpa dengan Jokowi justru sebaliknya, seperti terlihat dalam gambar, rakyat terlihat tersenyum bahkan tertawa gembira. Latar belakang Jokowi yang dari Sipil atau rakyat biasa itu membuat rakyat merasa nyaman, terlebih Jokowi memang secara konsisten selama 9 tahun ini, sejak dari Solo memang selalu berjalan kaki keluar masuk kampung-kampung rakyat, lewat langsung didepan pintu-pintu rumahnya rakyat. Maka wajar jika ekspresi wajah rakyatpun tak punya beban, bebas lepas, tak ada trauma sebagaimana trauma rakyat terhadap militer dinegeri ini.

Akhirnya, memang perbedaan keduanya begitu mencolok, bagai langit dengan bumi. Prabowo yang terlihat gagah saat menunggang kuda seharga 3 milyar, kaya raya, berdarah ningrat, pensiunan Jendral, pernah jadi menantu diktator militer bernama Soeharto, Prabowo ibarat langit yang tinggi, jauh dari imajinasi rakyat jelata. Sementara Jokowi yang Kurus kerempeng, pernah miskin di masa lalunya, selalu berjalan kaki keluar masuk kampung, tak mau membalas serangan bertubi-tubi yang diarahkan padanya, Jokowi ibarat bumi yang dekat dengan imajinasi rakyat itu sendiri.

Dari wajah-wajah itu kita bisa dan boleh untuk menilai, menimbang-nimbang dan merenung-renungkannya, dari wajah-wajah rakyat jelata yang menatap wajah calon pemimpinnya itu kita bisa mengetahui hasrat dan keinginan mereka. Persaingan kursi capres antara Prabowo dan Jokowi telah membuat pentas politik negeri ini semakin meriah, rakyat semakin tertarik untuk mengamati, merenung-renungkannya sebelum akhirnya memutuskan pilihannya.

Antara Kesederhanaan dan Kemewahan, antara Militer dan Sipil, antara Trauma dan Harapan, antara kegagahan dan keramahan, wajah-wajah sekitarlah yang menilainya..

Prabowo lebih dominan di isu nasional dan internasional, sementara Jokowi lebih dominan ke isu-isu lokal terutama terkait permasalahan di DKI Jakarta

Sebagai perbandingan, lanjut, adalah isu terkait korupsi di Indonesia. Dari sebuah riset yang dilakukan SORPINDO, kata dia, Prabowo lebih diperbincangkan di media sosial soal pertanyaan publik akan komitmennya dalam memberantas korupsi.

"Sementara Jokowi lebih banyak diperbincangkan dalam isu lokal, misalnya mengenai Lurah Susan dan status tersangka lurah Ceger," kata Agung yaitu seorang dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.Perbedaan yang mencolok dari Jokowi, 52 tahun, dan Prabowo, 62 tahun, adalah latar belakang keduanya. Jokowi jelas orang sipil murni. Sedangkan Prabowo (62) hampir separuh hidupnya mengabdi pada TNI (dulu ABRI).

Dari fakta itu, sebenarnya sulit mencari ukuran yang setara untuk menakar kedua tokoh tersebut. Akan tetapi, jika dipaksakan mencari ukuran yang mendekati setara, maka titik temunya adalah Jokowi dan Prabowo pernah (atau masih) menjadi penyelenggara negara/pejabat publik – dalam artian jabatan yang digaji negara untuk mengurusi kepentingan publik.

Jokowi, yang sebelumnya pengusaha mebel, mulai meniti karier politik saat terpilih secara demokratis dalam Pilkada Kota Surakarta pada 2005. Memimpin Surakarta selama satu periode, Jokowi terpilih kembali dengan kemenangan mutlak – di atas 90 persen suara – pada Pilkada Surakarta 2010. Masa jabatan periode kedua di Pemkot Surakarta (2010-2015) tak selesai dijalaninya, karena menang di Pilgub DKI 2012. Wali Kota Surakarta 2005-2012 dan Gubernur DKI Jakarta 2012- sekarang adalah dua jabatan publik yang pernah dan masih diemban Jokowi.

Sedangkan Prabowo, berkarier sebagai anggota TNI (dulu ABRI) sejak 1974 – seangkatan dengan SBY – dia pernah menjabat dua jabatan penting dalam kesatuan di Angkatan Darat. Pertama adalah Komandan Komando Pasukan Khusus (1996-1998) dan Panglima Komando Cadangan Strategis yang hanya dijabatnya selama dua bulan (20 Maret-22 Mei 1998).

Jabatan yang singkat itu adalah imbas dari pencopotan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad sekaligus anggota TNI oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, karena dinyatakan terlibat penculikan aktivis pada 1998. Inilah jabatan terakhir Prabowo sebagai penyelenggara negara/pejabat publik di republik ini.

Setelah dicopot tanpa melalui peradilan militer, Prabowo hijrah ke Yordania untuk berbisnis dan balik lagi pada 2004 untuk mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar 2004, namun kalah. Menghilang setelah kalah, Prabowo muncul lagi jelang Pemilu 2009 dengan mendirikan Partai Gerindra. Kalah di Pilpres 2009 sebagai cawapres Megawati, akhirnya pada 2014 ini Prabowo nyapres.

Lalu apa yang hendak diukur dari Jokowi (Wali Kota Surakarta 2005-2012 dan Gubernur DKI 2012-sekarang) dan Prabowo (Danjen Kopassus 1996-1998 dan Pangkostrad 20 Maret-22 Mei 1998)? Mari mengukur prestasi keduanya dalam jabatan publik tersebut.

Saat ingin mencoba mengukur prestasi keduanya, saya merasa tidak adil terhadap Prabowo yang ‘hanya’ pernah menjabat jabatan publik sebagai petinggi militer. Sebab, saya sadar jabatan Danjen Kopassus dan Pangkostrad efeknya kurang bisa dirasakan publik langsung oleh publik. Beda dengan jabatan wali kota dan gubernur yang (pernah) diemban Jokowi. Semua pelayanan publik yang baik di sebuah daerah, hampir selalu diasosiasikan dengan kinerja kepala daerahnya. Apalagi, jika kepala daerah memiliki strategi komunikasi yang ciamik seperti Jokowi.

Mungkin saja ternyata prestasi Prabowo di militer jauh lebih besar dari Jokowi, namun karena tidak dirasakan langsung, publik menjadi tidak sadar bahwa sesuatu yang baik itu – misalnya keamanan negara – adalah hasil kerja Prabowo. Bukankah kerja militer itu – apalagi bidang intelijen – jauh dari peliputan media sehingga pengetahuan publik minim atas hal itu.

Karena merasa kurang adil itu, maka saya mencoba mengukur Jokowi dan Prabowo bukan dari prestasi (positif), tapi dalam sudut pandang negatif. Maksudnya, mari kita lihat pelanggaran apa saja yang sudah mereka perbuat selama menjabat. Pelanggaran di sini tidak semata-mata harus ada vonis pengadilan. Sebab, melihat potret penegakan hukum dan pengadilan yang karut marut sekarang ini, sulit untuk berpegang sepenuhnya pada putusan hakim.

Lalu apa yang negatif dari Jokowi? Mungkin yang paling mencolok belakangan ini adalah pengadaan bus Transjakarta dari China yang bermasalah. Tak usah saya sebut apa permasalahannya, karena penyelidikan oleh KPK terhadap pengadaan itu sudah cukup memberi kesan ada yang tak beres dalam proyek lebih dari Rp 1 triliun itu. Jokowi pun mengakui ada persoalan dan mendukung KPK mengusutnya. Terlepas Jokowi terlibat atau tidak nantinya dalam ‘permainan’ proyek tersebut, kesan ‘kelalaian’ Jokowi dalam mengawasi proyek di bawah pemerintahannya sulit dilepaskan.

Kemudian apa yang negatif dari Prabowo? Satu dari beberapa hal negatif yang paling sulit dilepas dari Prabowo adalah keterlibatannya saat menjadi Danjen Kopassus dalam kasus penculikan aktivis dalam pergolakan reformasi 1998. Prabowo sendiri mengakui telah memerintahkan Tim Mawar untuk menculik. Namun, Mahkamah Militer tidak pernah menyentuh Prabowo yang masih menjadi menantu Soeharto kala itu.

Belakangan, selagi hiruk pikuk pencapresan 2014, Prabowo kepada sebuah media mengatakan seluruh aktivis yang dia culik sudah kembali. Dengan kata lain, Prabowo membenarkan bahwa dia memerintahkan penculikan, tapi bukan terhadap 13 orang aktivis yang masih hilang hingga sekarang. Kasarannya, Prabowo tidak bertanggung jawab atas yang 13 itu.

Kesamaan sisi negatif Jokowi dan Prabowo di atas adalah belum pernah ada putusan hukum atas dua hal itu. Terlebih dalam kasus pengadaan bus DKI yang baru tahap ‘penyelidikan’. Berbeda dengan penyidikan, penyelidikan adalah tahap awal mencari barang bukti atas suatu dugaan tindak pidana korupsi. Artinya, bisa saja kemudian tidak ada bukti atas proyek bus tersebut. Namun, seandainya ada, belum tentu itu akan menyeret Jokowi.

Beda dengan Jokowi, Prabowo, meski belum pernah diproses hukum, sudah mengakui telah melakukan penculikan. Tindakan brutal itu akhirnya harus dibayar mahal dengan pencopotannya sebagai Pangkostrad, yang baru dijabatnya selama dua bulan. Sementara Jokowi belum pernah sama sekali dicopot sebagai penyelenggara negara/pejabat publik karena pelanggaran, baik hukum maupun etik.

Belum pernah diproses secara hukum, bukan berarti Prabowo lepas sepenuhnya dari jeratan hukum atas kasus penculikan. Sebab, Pansus Orang Hilang DPR pada 2009 sudah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Presiden SBY membiarkan rekomendasi tersebut, tapi bisa saja tidak bagi presiden terpilih pasca-SBY. Artinya, jika Pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus penculikan akhirnya digelar, bukan tidak mungkin Prabowo yang lolos dalam Mahkamah Militer bisa dijerat dalam pengadilan HAM (sipil). Atas proses yang masih menggantung itu, Amerika Serikat tetap tidak mencabut larangan visa bagi Prabowo masuk ke negeri Abang Sam itu.

Begitulah saya mengukur Jokowi dan Prabowo yang saya ambil dari beberapa sumber, dengan cara begini juga bisa dipakai untuk mengukur atau membandingkan para capres yang ada. Sebab, kontestasi pilpres bukan bicara seorang tokoh ‘layak’ atau ‘tidak layak’ sebagai capres, tetapi apakah seorang tokoh ‘lebih layak’ atau ‘kurang layak’ dibandingkan yang lain. Dalam sebuah kompetisi harus ada pemenangnya, dan siapa yang menang tentu diharapkan adalah yang terbaik dari deretan peserta yang mungkin kurang baik.

0 comments:

Post a Comment

 
MMORPG Games - MMORPG List - Video Game Music